SEJARAH AKSARA JAWA (PART 04)

05 November 2019 04:48:43 WIB

SIDASAMEKTA KEPEKDikemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang (Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan (ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya) seperti sekarang ini (Hadi Soetrisno, 1941:7). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII (Atmodjo, 1994 : 26). Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka (Atmojo, 1994 : 26). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.

 

Sejarah Aksara Jawa: Part 01 | Part 02 | Part 03 | Part 05 | Part 06

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

Terjemahan

Polling Web Kepek

Bagaimana menurut anda informasi dari website Kepek?
Sangat memuaskan, Lanjutkan
Memuaskan Saja
Memuaskan, Tingkatkan
Tidak Memuaskan
Create free online surveys

wa